Selasa, 07 Juni 2011

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS


A.       Anatomi Fisiologi
Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan penunjang yang disebut neuroglia . Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan. Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh dapat  mengadaptasi sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh dalam mengadaptasi perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal  sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang  tidak seimbang atau sakit.
Fungsi Saraf
1.      Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensori . Saraf sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
2.      Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
3.      Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di otak untuk selanjutnya menentukan jawaban  atau respon.
4.      Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga Efferent Motorik Pathway.

Medula spinalis merupakan perpanjangan medula oblongata ke arah kaudal di dalam kanalis vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang hingga setinggi cornu vertebralis lumbalis I - II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmennya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medula spinalis bagian cervical keluar 8 pasang , dari bagian thorakal 12 pasang, dari bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansia grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang, melindungi tubuh terhadap pelbagai perubahan yang terjadi baik dilingkungan internal maupun di lingkungan eksternal. Kegiatan refleks  terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung refleks

Fungsi medula spinalis
1.      Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
2.      Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai
3.      Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4.      Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

B.     Pengertian
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka.

C.    Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65ºC akan hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat hemolisis, yang peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.
D.    Patofisiologi

Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kototr dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempngaruhi sistem saraf pusat. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari .

E.     Gejala klinis
Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketgangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung serimng tampak risus sardonukus karena spsme otot muka dengan gambaran alsi tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul paroksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir
Gambaran umum yang khas pada tetanus
a. Badan kaku dengan epistotonus
b. Tungkai dalam ekstensi
c. Lengan kaku dan tangan mengepal
d. Biasanya keasadaran tetap baik
e. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
1. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan
2. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.

F.      Pemeriksaan diagnostik
• Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
• Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L
•Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot rahang.
•Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
•Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

G.    Komplikasi
• Bronkopneumoni
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.(Smeltzer ; Suzanne C, 2002 : 572)
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masukl ke saluran pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan.

• Asfiksia dan sianosis
Suatu keadaan dimana sekatan atau halangan pernafasan berlaku hingga memyebabkan berlakunya kekurangan oksigen pada sel-sel badan.

H.    Pengobatan
• Anti Toksin : ATS 500 U IM dilanjutkan dengan dosis harian 500-1000 U
• Anti kejang : Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB / 4 wad IM Efek samping stupor, koma
• Antibiotik : Pemberian penisilin prokain 1,2 juta U/hari

I. Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan
2. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
3. Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat
4. Pemberian anti tetanus serum

J. Prognosa
Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.
Pemeriksaan diagnostik

K.    Penatalaksanaan
a. Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :

1. Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka tidak boleh diberikan IV)  
2. Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
3. Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4. Beta-adrenergik bolcker; propanolol inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung.
5. Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
6. Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
7. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
8. Diit TKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9. Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
10. Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
11. Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan.
b. Pembedahan
1. Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
2. Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TETANUS

Pengkajian
1. Pengkajian umum
  • Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
2. Pengkajian khusus
  • System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto pernafasan.
  • System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
  • System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
  • System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak ada/oliguria)
  • System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
  • System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
  • Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
Diagnosa Keperawatan
  1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan.
  2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan
  3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin ( bakterimia )
  4. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
  5. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
  6. Gangguan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
  7. Resiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
  8. Resiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
  9. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya informasi
  10. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan sering kejang
Intervensi Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan

Ditandai dengan :
  • Ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan : AGD abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan:
  • Jalan nafas efektif
Kriteria:
  • Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada
  • Pernafasan 16 – 18 kali/menit
  • Tidak ada pernafasan cuping hidung
  • Tidak ada tambahan otot pernafasan
  • Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal ( pH=7,35 – 7,45 ; PCO2= 35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi dan rasional :
  • Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi. Rasional : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
  • Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi) tiap 2 – 4 jam sekali. Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
  • Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section. Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret, sehingga mempermudah proses respirasi.
  • Oksigenisasi sesuai intruksi dokter. Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia
  • Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam. Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
  • Observasi timbulnay gagal nafas/apnea. Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation)
  • Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik). Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan

Ditandai dengan :
  • Kejang rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan :
  • Pola nafas teratur dan normal

Kriteria :
  • Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
  • Tidak sesak, pernafasan normal 16 – 18 kali/menit
  • Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
  • Monitor irama pernafasan dan respirasi rate. Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
  • Atur posisi luruskan jalan nafas. Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
  • Observasi tanda dan gejala sianosis. Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2 pada jaringan tubuh perifer.
  • Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter. Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia.
  • Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam. Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama.
  • Observasi timbulnya gagal nafas. Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato)
  • Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah. Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia)

Ditandai dengan :
  • Suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3
Tujuan :
  • Suhu tubuh normal
kriteria :
  • Suhu kembali normal 36 – 37 °C
  • Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
  • Atur suhu lingkungan yang nyaman. Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi
  • Pantau suhu tubuh tiap 2 jam. Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion
  • Berikan hidrasi atau minum yang adekuat. Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari demam.
  • Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka. Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
  • Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang. Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
  • Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik. Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
  • Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit. Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
Ditandai dengan :
  • Intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan :
  • Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
  • Berat badan optimal
  • Intake adekuat
  • Hasil pemeriksaan albumin 3,5 – 5 mg%
Intervensi dan rasional :
  • Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh. Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif dalam program diet.
  • Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar. Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah
  • Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line. Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
  • Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu. Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar