Selasa, 24 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA MEDULLA SPINALIS

  1. Pengertian
 Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

  1. Anatomi fisiologi
           
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Vetebrata Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
2.      Vertebrata Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
3.      Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
4.      Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
5.      Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Fungsi dari kolumna vertebralis Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata, dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Sumsum tulang belakang berukuran panjang sekitar 45 cm, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1.    Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2.   Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi pada karnu pasterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4.  Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik.
5.  Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6.  Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.



  1. Etiologi

1. Kecelakaan lalu lintas
2. Olahraga, latihan fisik
3. Tumor
4. Luka tusuk, luka tembak
5. Kelainan tulang belakang karena hipoksemia dan iskemik.
6. Industri.
7. Terjatuh,
8.  Menyelam.
              
  1. Klasifikasi
1. Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
2. Inkomplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik):
Sindrom
Area cedera
Kehilangan fungsi
Sindrom medulla sentral
Substansia alba dan grisea sentral medulla spinalis, terjadi paling banyak pada cedera hiperekstensi servikal.
Kehilangan neuron motorik atas pada lengan .
Sindrom medulla anterior
Dua pertiga anterior medulla spinalis terjadi paling banyak pada cedera fleksi dan kompresi .
 Traktus kortikospinal (motorik).
Traktus spinotalamus
(sensori).


Kehilangan fungsi motorik komplet dibawah level cedera.
Kehilangan sensasi nyeri, sentuhan dan suhu.
Masih merasakan sentuhan ringa, propriosepsi, dan rasa posisi.
Sindrom medulla posterior
Jarang
Dikaitkan dengan trauma hiperekstensi servikal.
Kehilangan fungsi motorik bergantung pada apakah cedera disebabkan oleh kompresi medulla spinal, dislokasi discus, fraktur, atau perubahan posisi fraktur tulang.
Sindrom brown-sequard
Hemiseksi korda anterior dan posterior (misalnya, disebabkan oleh luka tusuk).
Traktus kortikospinal pada sisi ipsilateral
Traktus spinotalamus pada sisi kontralateral
Kehilangan fungsi motorik komplet dibawah level lesi, pada sisi ipsilateral.
Kehilangan sensasi nyeri, sentuhan dan suhu pada sisi kontralateral untuk semua area dibawah lesi.

Sindrom kauda ekuina
Dibawah L2
Kehilangan fungsi motorik dan sensori.

Menurut American Spinal Injury Association:
  1. Grade A : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah tingkat l.
  2. Grade B : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi.
  3. Grade C : Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3.
  4. Grade D : Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3.
  5. Grade E : Fungsi motorik dan sensorik normal.




  1. Patofisiologi












  1. Manifestasi Klinis
1.      MK CMS Servikal
C1-C3    : gangguan fungsi diafragma (untuk pernafasan)
C4           : gangguan biceps dan lengan atas
C5           : gangguan fungsi gerakan bahu, tangan, dan pergelangan tangan
C6-C7    : gangguan fungsi tangan secara komplit, gerakan siku dan pergelangan
            Tangan
                        C8        : gangguan fungsi jari.
2.      MK CMS Thorakal
T1           : gangguan fungsi tangan
T2-T8        : gangguan fungsi pengendalian otot abdomen, gangguan satabilitas tubuh, pengaturan suhu.
T9-T12   : kehilangan parsial fungsi otot abdomen dan batang tubuh
3.      MK CMS Lumbal
L1-L2    : gangguan ejakulasi dan gerakan pinggul
L3           : gangguan ekstansi lutut
L4           : gangguan gerakan kaki
L5           : gangguan ekstensi lutut
4.      MK CMS Sacral
S1         : gangguan gerakan kaki
S2-S3    : gangguan aktivitas kandung kemih khusus
S2-S4     : gangguan ereksi penis

G.    Tes Diagnostik
1.      Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2.   Ct skan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3.   MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4.      Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5.   Foto ronsen torak
Memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
6.   Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal)
Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
7.   Analisa Gas Darah
Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

H.    Komplikasi
1.      Neurogenik shock.
2.      Hipoksia.
3.      Gangguan paru-paru
4.      Instabilitas spinal
5.      Orthostatic Hipotensi
6.      Ileus Paralitik
7.      Infeksi saluran kemih
8.      Konstipasi
9.      Dekubitus
10.  Kontraktur
11.  Impoten
12.  Gagal napas
13.  Trombosis vena profuda
14.  Instabilitas spinal



I.       Penatalaksanaan
1.      Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela. Tindakan Respiratori
a.       Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
b.      Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
c.       Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi
Reduksi dan Fraksi skeletal
a.       Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata.
b.      Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
c.       Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Tindakan bedah :
Laminektomi,dilakukan Bila :
a.       Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
b.Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
c.       Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
d.   Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.

J.      Epidemiologi
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).

Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).

Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

K.    Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.









ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1.      Data subyektif
a.       Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan neurologis)
b.      Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi
c.       Adanya dyspnea
d.      Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia)
e.       Riwayat hilangnya kesadaran
f.       Tidak adanya sensasi -à gangguan sensorik
2.      Data Obyektif
a.       Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil
b.      Status  respirasi (Bervariasi)
c.       Orientasi tempat, waktu dan orang
d.      Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik
e.       TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli
f.       Distensi bowel dan bladder

3.      Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
4.      Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
5.      Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
6.      Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
7.      Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
8.      Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

9.      Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
10.  Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11.  Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
12.  Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.


B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
2.      Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
3.      Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
4.      Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
5.       Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
6.      Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi












Nursing Care Plan


No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1
Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien dapat:
Ø  mempertahankan ventilasi adekuat dibuktikan oleh tak adanya distress pernapasan dan GDA dalam batas yang dapat diterima.
Ø  Mendemonstrasikan perilaku yang tepat untuk mendukung upaya pernapasan.
1.      Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret.



2.      Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekreat)
3.      Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
4.      Lakukan suction bila perlu

5.      Auskultasi bunyi napas

6.      Lakukan latihan nafas


7.      Berikan minum hangat jika tidak kontraindikas
8.      Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah

9.      Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
 1.      Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk.
 2.      Menutup jalan nafas.


 3.      Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
 4.      Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
 5.      Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
 6.      mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
 7.      Mengencerkan sekret

 8.      Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
 9.      Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
2
Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien dapat:
Ø  mengidentifikasi faktor resiko individual.
Ø  Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan.
Ø  Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kerusakan kulit.
1.      Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit


2.      Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
3.      Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
4.      Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
5.      Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
6.      Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar
7.      Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
8.      Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
 1.      Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
 2.      Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
 3.      Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitus
  1. Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
  2. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
  3. Meningkatkan sirkulasi darah




  1. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

  1. Mempercepat proses penyembuhan
3
Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien dapat:
Ø  mengungkapkan perilaku/ tehnik untuk program khusus individual
Ø  menciptakan kembali kepuasan pada pola emilinasi usus
1.      Kaji pola eliminasi bowel

2.      Berikan diet tinggi serat

3.      Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
4.      Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
5.      Hindari penggunaan laktasif oral

6.      Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
7.      Berikan suppositoria sesuai program
8.      Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
1.      Menentukan adanya perubahan eliminasi.
2.      Serat meningkatkan konsistensi feses
3.      Mencegah konstipasi


4.      Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5.      Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6.      Meningkatkan pergerakan peritaltik
7.      Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8.      Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria


Tidak ada komentar:

Posting Komentar