A. Pengertian
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya. Pada tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan bahwa fetal anemia yang ditunjukkan dengan jumlah eritroblas yang ada dalam sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin.
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif.
B. Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung.
C. Gejala Klinis
Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan:
a. gagal jantung akibat anemia.
b. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia baerat
c. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat kerusakan parenkim hati oleh proses hematopoesis ekstrameduler.
d. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh disfungsi hepar
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan selama berminggu–minggu hingga berbulan-bulan.
D. Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
E. Penatalaksanaan
Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.
1. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
a. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
b. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
c. mengurangi kadar serum bilirubin
d. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
1. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari kelebihan kalium
2. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
3. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
4. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
5. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
6. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi ≥ 90 menit
7. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
8. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
9. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
GOLONGAN DARAH IBU | |||||
O | A | B | AB | ||
GOLONGAN DARAH BAYI | O | O | O | O | - |
A | O | A | O | A | |
B | O | O | B | B | |
AB | - | A | B | AB |
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1
2. Transfusi intra uterin :
Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Namun harus menjadi perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin sangat besar sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26–34 dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50–100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.
3. Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
4. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
F. Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.
1. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
a. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
b. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG
c. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.
2. Perkembangan anak selanjutnya.
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang.
G. Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin.
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus.
Drug Name | Human anti-D immune globulin (RhoGAM) — Suppresses immune response of nonsensitized Rh O (D) negative mothers exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus as a result of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma, amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion accident. Should be administered if the patient is Rh-negative, unless the father also is Rh-negative. |
Adult Dose | <13 wk gestation: 50 mcg IM >13 wk gestation: 300 mcg IM |
Pediatric Dose | Administer as in adults |
Contraindications | Documented hypersensitivity; patients who have received Rho(D)-positive blood within the last 3 mo |
Interactions | None reported |
Pregnancy | C – Safety for use during pregnancy has not been established. |
Precautions | Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA deficiency; when administered close to delivery, may interfere with Rh typing of the newborn |
Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan ternyata sangat protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi. 1,4,6
Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G maka preparat tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah melahirkan. 1,4
Kegagalan pemberian anti D terjadi bila : 1
1. tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan bayi Rh positif
2. tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah pemeriksaan amniocentesis
3. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal macrotransfusion jarang terjadi)
4. sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN FISIK
1. Aktivitas /istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktivitas; penurunan semangat kerja.
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : Takikardi/ takipnea: dispnea pada saat kerja atau istirahat.
Latargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksia, tubuh tidak tegak.
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis, misal: perdarahan GI kronis, menstruasi barat, agina.
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi (takikardi kompensasi).
Tanda : TD: Peningkatan siastole dengan diastole stabil dan tekanan nadi Melebar:hipotensi postural.
Disritmia.
Bunyi jantung: mur-mur siastolik.
Ekstremitas (warna): Pucatpd kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir, dan dasar kuku).
Skelera: biru atau putih seperti mutiara.
Rambut: kering, mudah putus, menipis: tumbuh uban secara prematur.
1. Aktivitas /istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktivitas; penurunan semangat kerja.
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : Takikardi/ takipnea: dispnea pada saat kerja atau istirahat.
Latargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksia, tubuh tidak tegak.
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis, misal: perdarahan GI kronis, menstruasi barat, agina.
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi (takikardi kompensasi).
Tanda : TD: Peningkatan siastole dengan diastole stabil dan tekanan nadi Melebar:hipotensi postural.
Disritmia.
Bunyi jantung: mur-mur siastolik.
Ekstremitas (warna): Pucatpd kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir, dan dasar kuku).
Skelera: biru atau putih seperti mutiara.
Rambut: kering, mudah putus, menipis: tumbuh uban secara prematur.
3. Integritas Ego
Gejala : Keyakinan agama, budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misal: penolakan trasfusi darah.
Tanda : Depresi.
4. Eliminasi
Gejala : Riwayat pielonefritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsopsi.
Hematemesis, feses dengan darah segar, melana.
Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
Tanda : Distensi abdomen.
5. Makanan/Cairan
Gejala : Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani redah/ masukan produk sereal tinggi.
Nyeri mulut dan lidah, kesulitan menalan (ulkus pada faring).
Mual/muntah, dispepsia, anoreksia.
Penurunan berat badan.
Tanda : Membran mukosa kering, pucat.
Turgor kulit: buruk.
Stomatitis.
6. Hygiene
Gejala : penampilan tidak rapi, kurang bertenaga.
7. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo.
Insomnia.
Kelemahan, keseimbangan buruk.
Sensasi menjadi dingin.
Tanda : Peka terhadap rangsang, gelisah, depresi, apatis.
Gangguan koordinasi, paralisis.
8. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen samar, sakit kepala.
9. Pernafasan
Gejala : Riwaya TB, abses paru
Napas pendek pada waktu istirahat dan beraktivitas.
Tanda : Takipnea, ortopnea, dispnea.
10. Keamanan
Gejala : Riwayat terpajan pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan.
Riwayat kanker, terapi kanker.
Transfusi darah sebelumnya.
Gangguan penglihatan.
Penyembuhan yang buruk.
Tanda : demam, berkeringat malam.
Ptechie dan ekimosis (apastik).
11. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk anemia.
Penggunaan alkohol kronis.
Riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan
12. Pertimbangan rencana pemulangan
DRG menunjukkan rerata lamanya di rawat 4 – 6 hari.
Dapat memerlukan dalam pengobatan: aktivitas perawatan diri, perubahan rencana diet.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
O Pemeriksaan darah lengkap.
O Besi serum.
O Masa perdarahan: memanjang.
O LDH: mungkin meningkat.
DIAGNOSA KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe 3+)
DIAGNOSA: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan ketidakmampuan/lambatnya mencerna makanan/absopsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan SDM.
a) Berikan makanan 6 porsi kecil jika mudah lelah.
b) Berikan makanan kesukaan klien dan sesuai dengan kondisi mukosa mulut; pastikan bahwa klien menerima semua zat gizi yang diperlukan
c) Sajikan makanan secara menarik; singkirkan dengan segera makanan yang tidak dimakan dan tidak diinginkan.
d) Bantu klien saat makan untuk menghemat tenaga klien.
e) Mintalah keluarga berkunjung saat akan untuk menemani dan membantu bila diperlukan.
f) Berikan terapi zat besi sesuai pesanan.
g) Hindari konstipasi: tingkatkan cairan dan makanan berserat.
h) Timbang berat badan setiap hari dengan waktu, pakaian dan timbangan yang sama.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Berat badan meningkat sampai atas normal: diet dan cairan seimbang dapat dipertahankan.
DIAGNOSA: potensial terhadap cidera yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai dengan vertigo, kebas atau pusing.
a) Berikan lingkungan yang aman.
b) Instruksikan pada klien untuk duduk di sisi tempat tidur dan berdiri sebelum berjalan untuk mengetahui apakah ada pusing.
c) Arahkan klien untuk meminta bantuan saat ambulasi bila diperlukan.
d) Bantu hygiene dan perawatan lainnya untuk mencegah cedera.
e) Hindari cairan yang panas saat makan atau mandi.
f) Ajarkan klien tentang faktor-faktor resiko dan tindakan pencegahannya untuk menghindari cedera.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Klien secara verbal mengungkapkan tindakan untuk mencegah cedera dan menunjukkan tidak cidera.
DIAGNOSA: gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh penurunan konsentrasi dan peka rangsang.
a) Evaluasi fungi kognitif setiap 8 jam.
b) Rencanakan perawatan dengan klien untuk meningkatkan konsistensi dan perasaan tenang.
c) Anjurkan mengungkapkan masalah tentang kemampuan untuk berkonsentrasi; pastikan klien bahwa hal ini akan ditingkatkan dengan terapi.
d) Beritahu klien setiap langkah aktivitas dan instruksi; jangan berlebihan, instruksikan variasi pada satu waktu.
e) Hindarkan melengkapi kalimat untuk klien; dengarkan secara sabar.
f) Berikan aktivitas yang berbeda sesuai dengan kemampuan klien untuk berkonsentrasi, misal: musik kesukaan, dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Klien menunjukkan peningkatan konsentrasi saat melakukan AKS dan aktivitas terjadwal lainnya; tanda-tanda peka rangsang tidak ada.
DIAGNOSA: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
a) Pantai tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
b) Kaji respons terhadap aktivitas.
c) Rencanakan dengan klien sehingga aktivitas yang diinginkan dapat dilakukan tanpa kelelahan.
d) Bantu AKS, jika diperlukan, untuk menghemat tenaga.
e) Sediakan waktu istirahat tanpa gangguan untuk memelihara tenaga yang ada.
f) Tingkatkan aktivitas klien secara bertahap sampai tingkat toleransi tercapai.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
- Tingkat aktivitas klien mengalami kemajuan sampai keadaan sebelum sakit.
- Melakukan AKS tanpa takikardi atau dispnea.
DIAGNOSA: Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang mendapat informasi akurat tentang proses, pengobatan dan aktivitas yang diperbolehkan.
a) Diskusikan nama obat-obatan, dosis, waktu pemberian, tujuan, efek samping untuk dilaporkan (mual, muntah, diare atau konstipasi).
b) Jelaskan perlunya melanjutkan terapi zat besi meskipun sudah merasa baik.
c) Jelaskan alasan untuk tidak minum obat zat besi dicampur dengan susu atau Antasida.
d) Mendemonstrasikan metode pemberian zat besi secara parenteral.
e) Jelaskan pentingnya mempertahankan diet tinggi zat besi dan cairan seimbang.
f) Jelaskan pentingnya pemantauan berat badan setiap minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar