A. Pengertian.
Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatanan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi yang dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai yang kemudian mengalami kongesti.
Bentuk ringan dari insufisiensi vena hanya menunjukkan keluhan berupa perasaan yang tidak nyaman, menggangu atau penampilan secara kosmetik tidak enak, namun pada penyakit vena berat dapat menyebabkan respon sistemuk berat yang dapat menyebabkan kehilangan tungkai atau berakibat kematian.
Keadaan insufisiensi vena kronis akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan kronis kulit dan jaringan lunak yang dimulai dengan bengkak ringan. Perjalanan sindrom ini akhirnya akan menghasilkan perubahan warna kulit, dermatitis stasis, selulitis kronis atau rekuren, infark kulit, ulkus, dan degenerasi ganas. Komplikasi berat yang dapat muncul sebagai akibat dati insufisiensi vena dapat berupa ulkus pada tungkai yang kronis dan sulit menyembuh, phlebitis berulang, dan perdarahan yang berasal varises, dan hal ini dapat diatasi dengan penanganan dan koreksi pada insufisiensi vena itu sendiri.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang bersumber dari varises vena friabel, tapi kematian yang diakibat oleh varises vena paling dekat dihubungkan dengan adanya troboemboli vena sekunder. Pasien dengan varises vena mempunyai risiko tinggi mengalami trobosis vena profunda (deep vein thrombosis,DVT) karena menyebabkan gagguan aliran darah menjadi aliran darah statis yang sering menyebabkan phlebitis superfisial kemudian berlanjut menjadi perforasi pembuluh darah vena termasuk pembluluh darah vena profunda. Pada penatalaksaan penderita dengan varises vena perlu diperhatikan kemungkinan adanya DVT karena adanya tromboemboli yang tidak diketahui dan tidak diterapi akan meningkatkan terjadinya mortalitas sekitar 30-60%.
Varises vena baru mungkin dapat muncul setelah adanya episode DVT yang tidak diketahui yang menyebabkan kerusakan pada katup vena. Pada pasien ini adanya faktor risiko yang mendasari untuk terjadinya tromboemboli dan memiliki risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.
Klasifikasi
Vena varikosa diklasifikasikan (Sabiston 1994):
a. Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri vena superficial ekstremitas bawah
b. Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena profunda dan disertai dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis, mencakp edema, perubahan kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.
Vena varikosa diklasifikasikan (Sabiston 1994):
a. Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri vena superficial ekstremitas bawah
b. Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena profunda dan disertai dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis, mencakp edema, perubahan kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Vena Safena Magna (VSM) berawal dari sisi medial kaki merupakan bagian dari lengkung vena dan mendapat percabangan dari vena profunda pada kaki yang kemudian berjalan keatas sepanjang sisi anterior malleolus medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi anteromedial betis sampai lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari betis bagian atas sampai pelipatan paha VSM ditutupi oleh sebuah fasia tipis dimana fasia ini berfungsi untuk mencegah agar vena ini tidak berdilatasi secara berlebihan. Normalnya VSM memiliki ukuran normal 3-4 mm pada pertengahan paha.
Sepanjang perjalanannya sejumlah vena peforata mungkin menghubungkan antara VSM dengan sistem vena profunda pada regio femoral, tibia posterior, gstrocnemius, dan vena soleal (gambar 1). Antara pergelangan kaki dan lutut terdapat Cockett perforator, yang merupakan kelompok vena perforata yang menghubungkan sistem vena profunda dengan lengkung vena posterior yang memberikan percabangan ke v. Safena Magna dari bawah pergelangan kaku dan berakhir di VSM di bawah lutut.
Gambar 1 Vena perforata sepanjang VSM
Selain vena perforata pada beberapa vena superfisial juga memberikan cabang ke VSM. Sedikit di bawah Safenofemoral Junction (SFJ), VSM menerima percabangan dari cabang kutaneus lateral dan medial femoral, vena iliaka sirkumfleksa eksterna, vena episgatrika superfisialis, dan vena pudenda interna. Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan bermanifestasi pada paha bagian bawah dan bêtis bagian atas. Akhir dari perjalanan VSM berakhir di vena femoralis bercabangan ini disebut dengan Safenofemoral junction. pada pertemuan antara vena safena magna dengan vena femoralis terdapat katup terakhir dari VSM
Gambar 2 Percabangan Mayor VSM
C. ETIOLOGI
Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstriksi yaitu faktorlingkungan bergabung menciptakan spektrum yang luas dari penyakit vena. Penyebab terbanyak dari varises vena adalah oleh karena peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi kelenahan pada dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi abnormal vena di lengan dan tangan.
Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya kegagalan katup primer, namun faktor genetik spesifik yang bertanggung jawab terhadap terjadi varises masih belum diketahui. Pada penderita yang memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat dimana v. Safena Magna bergabung dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki risiko dua kali lipat. Pada penderita kembar monozigot, sekitar 75 % kasus terjadi pada pasangan kembarnya. angka prevalensi varises vena pada wanita sebesar 43 % sedangakan pada laki-laki sebesar 19 %.
Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik dalam vena hal ini akan menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena sekunder dalam sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan vena superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi perpindahan tekanan tinggi dalam vena dalam ke sistem vena superfisialis dan kondisi ini secara progresif menjadi ireeversibel dalam waktu singkat.
Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena, hal ini dikarenakan pada wanita secara periodik terjadi distensi dinding dan katup vena akibat pengaruh peningkatan hormon progrestron. Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita varises karena pengaruh faktor hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kehamilan. Hormon ini akan meningkatkan kemampuan distensi dinding vena dan melunakkan daun katup vena. pada saat bersaan, vena harus mengakomodasikan peningkatan volume darah sirkulasi. Pada akhir kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat dari uterus yang membesar. penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan hipertensi vena dan distensi vena tungkai sekunder. berdasarkan mekanisme tersebut varises vena pada kehamilan mungkin akan menghilang setelah proses kelahiran. pengobatan pada varises yang sudah ada sebelum kehamilan akan menekan pembentukan varises pada vena yang lain selama kehamilan.
Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua terjadi atropi pada lamina elastis dari pembuluh darah vena dan terjadi degenerasi lapisan otot polos meninggalkan kelemahan pada vena sehingga meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.
Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya obstruksi. Obstruksi akan menciptakan jalur baypass yang penting dalam aliran darah vena ke sirkulasi sentral, maka dalam keadaan vena yang mengalami varises tidah dianjurkan untuk di ablasi.
D. TANDA DAN GEJALA
· Tegang, kram otot, sampai kelelahan otot tungkai bawah.
· Edema tumit dan rasa berat tungkai dapat pula terjadi, sering terjadi kram di malam hari.
· Terjadi peningkatankepekaan terhadap cedera dan infeksi.
· Apabila terjadi obstruksi vena dalam pada varises, pasien akan menunjukkan tanda dan gejala insufisiensi vena kronis; edema, nyeri, pigmentasi, dan ulserasi.
· Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit, lebih ringan pada pertengahan dan menjadi berat lagi seiring berjalannya waktu.Gejala yang muncul umunya berupa kaki terasa berat, nyeri atau kedengan sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram pada malam hari, edema, perubahan kulit dan kesemutan. Nyeri biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-menerus dan memberat setelah berdiri terlalu lama.
· Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena membaik bila beraktifitas seperti berjalan atau dengan mengangkat tungkai, sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila berjalan dan tungkai diangkat.
Keterangan: Biasanya kerusakan diakibatkan kerena adanya suatu hambatan aliran darah dan tekanan hidrostatik yang terlau besar.Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan darah vena naik keatas dan masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian dialirkan ke pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena profunda yang kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superficial terletak suprafasial, sedangkan vena vena profunda terletak di dalam fasia dan otot. Ven perforate mengijinkan adanya aliran darah dari ven asuperfisial ke\ vena profunda.
Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas melawan gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu mekanisme pompa otot. Pompa ini akan meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak akan menimbulakan distensi pada vena profunda dan selain itu karena vena profunda terletak di dalam fasia yang mencegah distensi berlebihan. Tekanan dalam vena superficial normalnya sangat rendah, apabila mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan menyebabkan distensi dan perunbahan bentuk menjadi berkelok-kelok.
Keadaan lain yang meyebabkan vena berdilatasi dapat dilihat pada pasien dengan dialisis shunt dan pada pasien dengan arterivena malformation spontan. Pada pasien tersebut terjadi peningkatan tekanan dalam pembuluh darah vena yang memberikan respon terhadap vena menjadi melebar dan berkelok-kelok. Pada pasien dengan kelainan heresiter berupa kelemahan pada dinding pembuluh darah vena, tekanan vena normal pada pasien ini akan menyebabkan distensi venambuluh vena paling sering dan vena menjadi berkelok-kelok.
Peningkatan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena dengan adanya refluks yang melewati katup vena yang inkompeten baik terjadi pada vena profunda maupun pada vena superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat disesbabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena. Penyebab obstruksi ini dapat oleh karena thrombosis intravascular atau akibat adanya penekanan dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh karena obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi pada varisesnya karena segera menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.
Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin dapat memicu kegagalan katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan katup karena thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam pembuluh darah , pembuluh vena ini akan mengalami dilatsi yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu sama lain tidak dapat saling betemu.
Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup lainnya. Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam system vena superfisial akan menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang bersifat local. Setelah beberapa katup vena mengalami kegagalan, fungsi vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah vena akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.
Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena adanya perubahan hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah dan katupnya menjadi lebih lunak dan lentur, namun bila terbentuk bvarises selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkir adanya kemungkinan disebabkan oleh keadaan DVT akut.
Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena dan volume darah vena yang melewati katup yang inkompeten. Sayangnya penampilan dan ukuran dari varies yang terlihat tidak mencerminkan keadaan volume atau tekanan vena yang sesungguhnya. Vena yang terletak dibawah fasia atau terletak subkutan dapat mengangkut darah dalam jumlah besar tanpa terlihat ke permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu besar akhirnya dapat menyebabkan dilatasi yang berlebihan.
F. Pemeriksaan klinis (diagnostic)
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan:
a. Test trendelenberg
b. Test myer
c. Test perthes
d. Test Doppler
e. Radiologi (phlebografi, morfometri, phlethysmografi)
Selain itu ada beberapa macam pemeriksaan klinis lainya, berikut dijabarkan beserta penjelasannya.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik system vena penuh dengan kesulitan karena sebagian besar sistem vena profunda tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Pada sebagian besar area tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus mencerminkan keadaan sistem vena profunda secara tidak langsung.
Pemeriksaan vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan pemeriksaan menggunakan Doppler. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dibuatkan peta mengenai gambaran keadaan vena yang di terjemahkan ke dalam bentuk gambar. Gambar ini akan memberikan informasi mengenai penatalaksaan selanjutnya.
a. Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi, telangiektasi, sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises vena prominent, jaringan parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi sklerotan sebelumnya. Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan. Vena normalnya terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena superfisial yang terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang tipis vena akan terlihat lebih jelas.
Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada sisi medial pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan gejala seperti perubahan struktur kulit. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi lateral.
b. Palpasi
Palapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke permukaan kulit. Palpasi membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan abnormal. Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya kelainan vena superfisial. Penekanan yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena profunda.
Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan SVM kemudian dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP. Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan menghitung indeks ankle-brachial. Nyeri pada saat palpasi kemungkinan adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh persen DVT didapatkan pada palpasi vena superfisialis yang mengalami thrombosis.
c. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal. Katup yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan adanya gelombang tersebut.
Manuver Perthes
Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam system vena yang mengalami varises menunjukkan suatu jalur bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena apabila aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting untuk menjaga volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga tidak memerlukan terapi pembedahan maupun skeroterapi.
Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri sambil menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial menjadi lebih lebar dan distesi.
Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien diposisikan dengan tungkai diangkat (test Linton) dengan tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke ukuran semula.
Tes Trendelenburg
Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks vena superficial dengan pasien dengan inkopetensi katup vena profunda. Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami varises kolaps. Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti adanya suatu inkopenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi atau melebar dengan cepat adannya inkopensi pada katup vena yang lebih tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.
Auskultasi menggunakan Doppler
Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah aliran darah vena yang mengalmi varises, baik itu aliran retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari dopple ini diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah dari katup vena yang kemudian menyebabkan adanya perubahan suara yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat penekanan dilepaskan, akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari Doppler.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium saat ini tidak bermanfaat dalam menegakkan diagnosis atau terapi varises vena.
Pemeriksaan Imaging
Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan seluruh area yang mengalami obstruksi dan refluks dalam system vena superficial dan system vena profunda. Pemeriksaan yang dapat dialkukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan USG color-flow dupleks. USG dupleks merupakan pemeriksaan imaging standar yang digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi vasirses dan untuk perencanaan terapi serta pemetaan preoperasi. Color-flow USG (USG tripleks) digunakan untuk mengetahui keadaan aliran darah dalam vena menggunakan pewarnaan yang berbeda. Pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik yaitu menggunakan Magnetic Resonance venography (MRV) digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada sistem vena profunda dan vena superficial pada tungkai bawah dan pelvis. MRV juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan nyeri dan edema pada tungkai. Venografi dengan kontras merupakan teknik pemeriksaan invasive. Saat ini venografi sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan USG dupleks sebagai pemeriksaan rutin penyakit vena. Sekitar 15 % pasien yang dilakukan pemeriksaan venografi ditemukan adanya DVT dan pembentukan trombosisi baru setelah pemberian kontras.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi Non Operatif
1. Kaus Kaki Kompresi (Stocking)
Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik pasien dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus kaki ini selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan menggunakan kaos kaki ini adalah dari segi harga yang relatif mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik. Pada penelitian randomize controlled trial compression menggunakan stoking (grade I dan II) dibandingkan dengan kontrol penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan mengurangi keluhan dan gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada perbedaan terhadap pembentukan varises vena.
2. Skleroterapi
Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan kedalam pembuluh darah yang abnormal sehingga terjadi destruksi endotel yang diikuti dengan pembentukan jaringan fibrotik. Sklerotan yang digunakan saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol, iodine gliserin, dan sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena safena paling umum digunakan saat ini adalah sodium tetradecyl sulphate dan polidacanol. Kedua bahan ini dipilih karena sedikit menimbulkan reaksi alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan hemosiderin) yang rendah, dan jarang menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi ekstravasasi ke jaringan.
Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi safenofemoral junction sangat pupuler dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an, terapi kombinasi ini diberikan setelah dilakukan pembedahan konvensional untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi. Sebuah penelitian yang membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi SFJ dibandingkan kombinas ligasi SFJ dengan stripping didapatkan angka rekurensi klinis dan rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan skleroterapi.
Sklerotan dibagi berdasarkan jenis substansinya yaitu yang berbentuk foam dan benbentuk liquid. Pada sklerotan jenis foam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis liquid yaitu dosis yang lebih sedikit, lebih efektif dan menimbulkan komplikasi yang lebih rendah. Pada sebuah penelitian non-randomised membandingkan antara sklerotan jenis foam dengan liquid didapatkan angka oklusi pembuluh darah yang lebih tinggi (67 % dengan 17 % dalam 1 tahun) dan angka gejala klinis yang lebih rendah (8,1 % dan 25 %) pada pasien yang menggunakan sklerotan foam. Tidak ada komplikasi ditemukan pada penelitian ini. Penelitian randomized trial lebih lanjut yang membandingkan antara polidocalol foam dengan polidocanol liquid didapatkan dalam terapi VSM inkompen (diameter < 8 mm) didapatkan keberhasilan dalam mengablasi refluks VSM lebih tinggi pada polidocanol jenis foam ( 84% lawan 14 %).
Terapi Minimal Invasif
1. Radiofrekuensi ablasi (RF)
Radiofrekuensi adalah teknik ablasi vena menggunakan kateter radiofrekuensi yang diletakkan di dalam vena untuk menghangatkan dinding pembuluh darah dan jaringan sekitar pembuluh darah. Pemanasan ini menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan penutupan vena. Kateter dimasukkan sampai ujung aktif kateter berada sedikit sebelah distal SFJ yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG. Ujung kateter menempel pada endotel vena, kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan melalui kateter logam untuk memanaskan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Jumlah energy yang diberikan dimonitor melalui sensor termal yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini berfungsi mngatur suhu yang sesui agar ablasi endotel terjadi.
Penelitian multi-center didapat 85 % VSM mengalami obliterasi pada 2 tahun. Dua penelitian randomized-controlled trial yang membandingkan ablasi radiofrekuensi dengan pembedahan konvensional. Penelitian pertama Lurie et al melaporkan hasil dari EVOLVeS Study yang merupakan percobaan multi-center dengan 81 pasien yang dilakukan radiofrekuensi ablasi atau ligasi SFJ, Stripping VSM dan phlebectomy. Hasil yang didapat 81 % oklusi VSM pada kelompok RF ablasi dengan lama waktu perwatan lebih singkat dari pada kelompok pembedahan ( 74 SD 10 mnt Vs 89 SD 12 mnt), lebih cepat pada RF ablasi (1,39 Vs 6,65 hari kerja). Walaupun komplikasi yang sitimbulkan pada RF ablasi lebih sedikit, komplikasi pasca terapi berupa parestesia lebih banyak pada kelompok RF ablasi ( 16% dibandingkan 6 % pada kelompok pembedahan, tetapi tidak signifikan). Interpretasi hasil study EVOLVeS sulit dilakukan karena berbagai variasi teknik anestesi dan prosedur yang dilakukan pada berbagai Center. Selain itu jumlah sample yang kecil tidak cukup kuat untuk menampilkan signifikansi perbedaan antara teknik yang dilakukan.
Penelitian kedua , Rautio randomized pada 28 pasien yang mendapatkan RF ablasi atau pembedahan konvensional. Kedua kelompok ini dilakukan di bawah anestesi umum. Hasil yang didapat penurunan rata-rata VCSS (venous clinical severity score). Pada RF ablasi didapat score VCSS 5,1 (SD=1,5) dan pada pembedahan didapat 4,4 (SD=1), nyeri pasca pembedahan secara signifikan lebih rendah pada RF ablasi dibandingkan kelompok pembedahan konvensional, komplikasi parestesia didapatkan 13 % pada kelompok RF dan 23 % pada pembedahan, Thomboplebitis sistemik didapat 20 % pada kelompok RF. Biaya pengobatan lebih besar pada kelompo RF ablasi dibandingkan dengan kelompok pembedahan konvensional.
Pada beberapa penelitian individual didapatkan komplikasi yang lebih rendah pada RF ablasi. Safena neuritis 3-49%, kulit terbakar 2-7 %, hematoma dan phlebitis. DVT dilaporkan sekitar 1 % dan 0,3 % terjadi emboli pulmonum.
2. Endovenous Laser Therapy (EVLT)
Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah dengan Endovenous laset therapy (EVLT). Keuntungan yang didapat menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien poliklinis di bawah anestesi local. EVLT yang secara luas digunakan menggunakan daya sebesar 10 14 watt. Prosedurnya EVLT menggunakan fibre laser yang dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah control USG.
Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local perivena dengan jalan memberikan infiltrasi di sekitar pembuluh darah pepanjang VSM. Tujuannya selain memberikan efek analgesia juga memberikan efek penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan fibred an berperan sebagai “heat sink” mencegah kerusakan jaringan local.
EVLT tidak menyebabkan vena segera menjadi mengecil bila dibandingkan dengan apabila dilakukan FR ablation, tetapi vena akan mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak tampak setelah 6 bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan endotel, nekrosis koagulatif, penyempitan dan thrombosis vena.
Pada sebuah penelitian observasional, VSM mengecil 94 –99 % dengan perbaikan penampilan varises superficial dan menurunkan gejala yang timbul. Dilaporkan oleh Min et al, sekitar 500 pasien yang di follow-up selam 3 tahun didapatkan abalsi VSM sebesar 98 % pada 1 bulan dan 93 % pada 2 tahun.
Komplikasi utama yang muncul seperti bruising (24 %) dan thomboplebitis (5%), tetapi tidak didapatkan adanya DVT, perasaan terbakar atau parestesia. Debandingkan dengan RF abalaton absennya komplikasi DVT adalah kemungkinan karena duarsi terapi yang lebih singkat, kontak dengan kateter trombogenik yang lebih singkat, dan suhu yang digunakan lebih tinggi.
Terapi Pembedahan
1. Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)
Teknik yang digunakan adalah teknik Stab-avulsion dengan menghilangkan segmen varises yang pendek dan vena retikular dengan jalan melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan kaitan khusus yang dibuat untuk tujuan ini, prosedur ini dapat digunakan untuk menghilangkan kelompok varises residual setelah dilakukan sphenectomy.
Mikroinsisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil atau jarum yang berukuran besar. Selanjutnya kaitan phlebectomu dimasukkan ke dalam dan vena dicapai melalui mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan kemusian dilakukan traksi pada vena, bagian vena yang panjang dipisahkan dari perlekatan sekitarnya.. bila vena tidak dapat ditarik apat dilakukan insuisi di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai keseluruhan vena.
2. Saphectomy
Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik menggunakan peralatan stripping internal dan teknik invaginasi dengan jalan membalik pembuluh darah dan menariknya menggunakan traksi endovenous, teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada struktur di sekitarnya.Gambar 5-6. Untuk menghilangkan VSM, sebuah insisi dibuat 2-3 cm sebelah medial lipatan paha untuk melihat SFJ.
Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari SFJ harus diidentifikasi dan dilakukan ligasi untuk memilinimalkan terjadinya rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan Junction, peralatan stripping dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level cruris selnajutnya alat strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm ataiu lebih kecil) sekitar 1 cm dari tuberosity tibia pada lutut. Kemudia head stripper dipasangkan pada lipatan paha dan dikunci pada ujung proksimal vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke dalam lumen vena sepanjang pembuluh darah sampai pintu keluar yang dibuat sebelumnya di bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang berisi efinefrin atau dilakukan ligasi untuk tujuan hemostasis setelah dilakukan stripping.
Gambar 3 Ligasi Safenofemoral Junction
Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena tingginya insiden komplikaasi yang terjasi setelah dilakukan stripping, komplikasi ini meliputi kerusakan pada nervus safena, yang berlokasi sangat dekat dengan vena pada regio lutut.
Komplikasi banyak terjadi pada bila VSP dikeluarkan, karena anatomi dan risiko terjadinya cedera pada vena poplitea dan nerevus peroneal lebih besar. Safenopopliteal junction harus diidentifikasi dengan pemeriksaan dupleks USG sebelum dilakukan deseksi, dan visualisasi dari Safeno popleteal jungtion secara langsung yang adekuat sangat pentingdilakukan. Setelah dilakukan ligasi dan pemisahan junction, sebiauh peralatan stripping dimasukkan ke dalam vena sampai distal cruris dan dikeluarkan melalui pintu yang dibuat dengan insisi (2 -4 mm). Selanjutnya stripper dikunci di proksimal vena dan dilakukan invaginasi dan ditarik dari daerah lutut sampai daerah pergelngan kaki
Gambar 4 Perforation-invaginasi (PIN) stripping
Modifikasi Teknik Pembedahan
1. Ambulatory Conservative Haemodynamic Management (ACHM or CHIVA)
Conservative haemodynamic surgery for varicose veins (CHIVA) adalah sebuah teknik pembedahan fisiologis meliputi identifikasi mengugunakan ultrasound dupleks dan ligasi refluk. Vena perforata dan vena safena dipersiapkan dan tidak dilakukan tindakan phlebektomi. Walaupun terdapat peningkatan hemodinamik dan morbilitas yang rendah namun agka rekurensi masih cukup tingg sebesar 35 % pada 3 tahun. Namun pada sebuah studi yang membandingkan antara ligasi SFJ, stripping, dan phlebektomi dilaporkan hasil yang sama pada 3 tahun tapi dengan kerusakan pada nervus cutaneus yang lebih sedikit pada kelompok CHIVA. Prosedur ini belum secara luas digunakan karena teknik yang relatif lebih rumit.
2. Transilluminated Powered Phlebectomy Ablation of Varicosities (TriVexe)
Phelebektomi dengan transiluuminasi merupakan metode unutk ablasi varises yang lebih cepat dan reliabel. Teknik memungkinkan dilakukan insisi dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit. Beberapa studi melaporkan peningkatan biaya operasi, peningkatan insiden terjadinya hematome, dan parestesia pada pasien dengan TriVex. Walupun demikian teknik ini mungkin bermanfaan pada pembedahan dengan varises yang rekuren dimana didapatkan jaringan parut perivaskular dan kekkakuan pembuluh vena yang menurunkan efikasi bila dilakukan stab avulsion konvensional
3. Subfascial Endoscopic Perforator Ligation (SEPS) and The Linton Procedure
Peran dari vena perforata dalam etiologi varises vena masih kontroversi. Bagaimanapun ukuran dan persentase vena perforata yang mengalami inkompenten di sisi medial cruris menunjukkna hubungan dengan severitas penyakit insufisiensi vena kronis. Beberapa ahli bedah vaskurel berpendapat ligasi pada vena perforata merupakan tindakan yang tidak rutin dilakukan.
Bila ligasi vena perforata diperlukan untuk mengisolasi vena perforata yang inkompeten, tindakan ligasi endoskopi lebih disarankan dibandingkan dengan operasi terbuka untuk menghindari masalah dengan penyembuhan luka operasi. Atau bila dilakukan operasi terbuka, penentuan vena perforata melalui pemeriksaan ultraound mungkin dapat mengatasi masalah penyembuhan luka operasi bila dibandingkan dengan prosedur Linton tradisional
Gambar 6 Prosedur Linton
4. External Valvular Stents
Penggunaan valvular stent eksternal diperkenalkan oleh Lane merupakan sebuah solusi yang fisiologis dalam mengatasi refluks vena dengan mempertahankan VSM. Dia medriskripsikan pada 1500 pasien walaupun ourcome data hanya tersedia pada 107 pasien saja menunjukkan setelah folow-up selama 57 bulan , 90 % didapatakan dengan SFJ yang kompeten dengan rara-rata penuruanan diameter VSM dari 7,6 menjasi 4,8 mm. Rekurensi secara klinis menurun. Sayangnya pasien dengan VSM yang berdiameter 10-11 mm atau dengan varises yang berkelok-kelok sepanjang VSF diekslusi dan teknik ini hanya dapat diaplikasikan pada 34 % pasien saja. Pasien dengan valvuloplasty didapatkan tingkat morbiditas yang lebih rendah dibandingkan bila dialakukan stripping. Komplikasi yang terjasi lebih jarang dan infeksi yang terjasi karena pelepasa cuff hanya 0,3 % kasus. Teknik mungkin dapat dipilih pada pasien dengan varises vena minor, namun belum ada penelitian yang membandingkan dengan teknik lain dan teknik ini belum secara luas digunakan.
5. Endovenous Diathermy
Teknik ini telah dialakukan oleh beberapa ahli bedah pada than 1960-1970-an. Tidak ada bukti keuntungan yang didapat dan ini meningkatkan ririko terjadinya cidera termal. Studi terbaru dikatakan teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengablasi percangan VSM yang inkompeten dengan tetap mempertahankan VSM setelah dilakuakan ligasi Safeno-femoral walupun tidak ada folow up yang dilakuakan selanjutnya dan sebagian besar pasien memerlukan terapi tambahan seperti skloroterapi.
Tabel 1. Pilihan Terapi untuk Varises Vena
Tabel diatas menujukkan pilihan terapi yang dapat digunakan dapam penatalaksanaan varises vena dan penggunaan anestesi yang diperlukan untuk menunjang prosedur terapi yang dilakukan.
KOMPLIKASI
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Inform konsen mengenai komplikasi ini diperlukan sebelum dilakukan tindakan terapi. NHSLA melaporkan komplikasi akibat cedera pada saraf pada 12 pasien dengan drop foot setelah dilakukan ligasi safeno-popliteal. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan. Sebagian besar ahli bedah vaskuler melakukan profilaksisi agar tidak terjadi komplikasi thomboemboli ini. Tabel 2 menunjukkan angka komplikasi yang terjadi pada berbagai prosedur yang digunakan dalam terapi varises vena.
Tabel 2. Tingkat Komplikasi yang Terjadi Pada Setiap Prosedur Terapi
H. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Kaji derajat dan tipe nyeri.
Tingkat aktivitas, gangguan pergerakan: penyebab, tanda-tanda, gejala dan efek dari gangguan pergerakan.
Tingkat aktivitas, gangguan pergerakan: penyebab, tanda-tanda, gejala dan efek dari gangguan pergerakan.
b. Kaji kualitas denyut perifer.
Perubahan suhu pada kedua tungkai bawah.
Periksa adanya edema dan derajat edema terutama pada kedua tungkai bawah.
Perubahan suhu pada kedua tungkai bawah.
Periksa adanya edema dan derajat edema terutama pada kedua tungkai bawah.
c. Kaji status nutrisi.
Riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan.
Riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d iskemia jaringan sekunder.
2. Gangguan citra tubuh b/d varises.
3. Gangguan mobilitas fisik b/d keterbatasan aktivitas akibat nyeri.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d peningkatan kebutuhan metabolik.
5. Gangguan citra tubuh b/d varises.
III. INTERVENSI
a. nyeri b/d iskemia jaringan sekunder.
Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
1) Kaji derajat nyeri. Catat perilaku melindungi ekstremitas.
R/ Derajat nyeri secara langsung berhubungan dengan luasnya kekurangan sirkulasi, proses inflamasi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/ Menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan kontraksi otot dan gerakan.
3) Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Mendorong aliran balik vena untuk memudahkan sirkulasi, menurunkan pembentukan statis
4) Dorong pasien untuk sering mengubah posisi.
R/ Menurunkan/mencegah kelemahan otot, membantu meminimalkan spasme otot.
5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
R/ Mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan otot.
1) Kaji derajat nyeri. Catat perilaku melindungi ekstremitas.
R/ Derajat nyeri secara langsung berhubungan dengan luasnya kekurangan sirkulasi, proses inflamasi.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/ Menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan kontraksi otot dan gerakan.
3) Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/ Mendorong aliran balik vena untuk memudahkan sirkulasi, menurunkan pembentukan statis
4) Dorong pasien untuk sering mengubah posisi.
R/ Menurunkan/mencegah kelemahan otot, membantu meminimalkan spasme otot.
5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
R/ Mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan otot.
b. Gangguan integritas kulit b/d insufisiensi vaskular.
Tujuan : Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
Tujuan : Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
1.Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat lokal, eritema, ekskoriasi.
R/ Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
2. Kaji ekstremitas untuk penonjolan vena yang jelas.
R/ Distensi vena superfisial dapat terjadi pada TVD karena aliran balik melalui vena percabangan.
3. Ubah posisi secara periodik dan hindari pemijatan pada ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan sirkulasi, pemijatan potensial memecahkan/ menyebarkan trombus sehingga menyebabkan embolus.
4. Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.
R/ Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
5. Lakukan kompres hangat, basah atau panas pada ekstremitas yang sakit bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan vasodilatasi dan aliran balik vena dan perbaikan edema lokal.
R/ Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
2. Kaji ekstremitas untuk penonjolan vena yang jelas.
R/ Distensi vena superfisial dapat terjadi pada TVD karena aliran balik melalui vena percabangan.
3. Ubah posisi secara periodik dan hindari pemijatan pada ekstremitas yang sakit.
R/ Meningkatkan sirkulasi, pemijatan potensial memecahkan/ menyebarkan trombus sehingga menyebabkan embolus.
4. Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.
R/ Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
5. Lakukan kompres hangat, basah atau panas pada ekstremitas yang sakit bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan vasodilatasi dan aliran balik vena dan perbaikan edema lokal.
c. Gangguan mobilitas fisik b/d keterbatasan aktivitas akibat nyeri.
Tujuan : Menunjukkan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh yang tepat.
R/ Meningkatkan stabilitas jaringan (mengurangi risiko cedera), posisi fungsional pada ekstremitas.
2) Perhatikan sirkulasi, gerakan, dan sensasi secara sering.
R/ Edema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas sehingga potensial terjadinya nekrosis jaringan.
3) Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif.
R/ Meningkatkan pemeliharaan fungsi jaringan
4) Jadwalkan aktivitas dan perawatan untuk memberikan periode istirahat yang tidak terganggu.
R/ Mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktivitas.
5) Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat pada latihan rentang gerak.
R/ Memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konsisten.
Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh yang tepat.
R/ Meningkatkan stabilitas jaringan (mengurangi risiko cedera), posisi fungsional pada ekstremitas.
2) Perhatikan sirkulasi, gerakan, dan sensasi secara sering.
R/ Edema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas sehingga potensial terjadinya nekrosis jaringan.
3) Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif.
R/ Meningkatkan pemeliharaan fungsi jaringan
4) Jadwalkan aktivitas dan perawatan untuk memberikan periode istirahat yang tidak terganggu.
R/ Mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktivitas.
5) Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat pada latihan rentang gerak.
R/ Memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konsisten.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d peningkatan kebutuhan metabolik.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nutrisi dengan seksama.
R/ Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan untuk membantu memilih intervensi.
2) Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering dan makanan yang menarik untuk pasien.
R/ Tindakan ini dapat meningkatkan masukan dan memerlukan lebih sedikit energi.
3) Berikan diet tinggi kalori/protein dengan tambahan vitamin.
R/ Membantu memenuhi kebutuhan metabolisme, mempertahankan berat badan dan regenerasi jaringan.
4) Anjurkan pembatasan aktivitas selama fase akut.
R/ Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
5) Konsul dengan ahli diet.
R/ Membantu mengkaji kebutuhan nutrisi pasien dalam perubahan pencernaan dan fungsi usus.
e. Gangguan citra tubuh b/d varises.
Tujuan : Peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit.
Intervensi :
1) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan.
R/ Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung.
2) Diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan.
R/ Isyarat verbal/nonverbal orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya.
3) Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan.
R/ Nyeri konstan akan melelahkan, dan perasaan marah dan bermusuhan umum terjadi.
4) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan tubuh/perubahan.
R/ Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptif, membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
5) Susun batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping.
R/ Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri.
6) Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas.
R/ Meningkatkan perasaan kompetensi/harga diri, mendorong kemandirian dan partisipasi dalam terapi.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nutrisi dengan seksama.
R/ Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan untuk membantu memilih intervensi.
2) Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering dan makanan yang menarik untuk pasien.
R/ Tindakan ini dapat meningkatkan masukan dan memerlukan lebih sedikit energi.
3) Berikan diet tinggi kalori/protein dengan tambahan vitamin.
R/ Membantu memenuhi kebutuhan metabolisme, mempertahankan berat badan dan regenerasi jaringan.
4) Anjurkan pembatasan aktivitas selama fase akut.
R/ Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
5) Konsul dengan ahli diet.
R/ Membantu mengkaji kebutuhan nutrisi pasien dalam perubahan pencernaan dan fungsi usus.
e. Gangguan citra tubuh b/d varises.
Tujuan : Peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit.
Intervensi :
1) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan.
R/ Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung.
2) Diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan.
R/ Isyarat verbal/nonverbal orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya.
3) Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan.
R/ Nyeri konstan akan melelahkan, dan perasaan marah dan bermusuhan umum terjadi.
4) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan tubuh/perubahan.
R/ Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptif, membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
5) Susun batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping.
R/ Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri.
6) Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas.
R/ Meningkatkan perasaan kompetensi/harga diri, mendorong kemandirian dan partisipasi dalam terapi.
IV. EVALUASI
1. Nyeri hilang atau terkontrol.
2. Mempertahankan integritas kulit.
3. Menunjukkan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
4. Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
5. Peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit.
2. Mempertahankan integritas kulit.
3. Menunjukkan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
4. Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
5. Peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar